Minggu, 06 Mei 2012
Sedikit Kilas Balik Lurd BOBOTOH Taun 1960-an
Jadi ”Bobotoh” Persib Tahun
1960-an
bobotoh Persib telah ada sejak
dulu. Paling tidak, saya mengalami sendiri akhir tahun
1959 hingga 1964. Ketika
duduk di bangku Sekolah
Rakyat (SR, sekarang SD) kelas 5 hingga SMP kelas 3 di Kota
Kecamatan Limbangan, Garut.
Setelah melanjutkan sekolah di
Garut Kota (SGA, kemudian
berubah nama menjadi SPG),
kegiatan menjadi bobotoh
Persib terhenti. Soalnya, bekal
dari orang tua paspasan sekali.
Tak dapat menyisihkan buat
ongkos nonton Persib
bertanding di Bandung.
Kalau masih di kampung,
sekadar buat membeli karcis,
dapat mencari ke sana kemari.
Mulai dari menjual dua tiga ikat kayu bakar, hingga menjual telur ayam atau bebek. Bahkan kadang-kadang isi sarang ayam tetangga pun ikut terkuras.
Maklum, usia sedang nakal-
nakalnya. Untuk ongkos kendaraan Limbangan-Bandung, tak terlalu sulit.
Pergi ke Bandung,
numpang truk pengangkut
minyak kelapa dari Ciamis.
Setiap hari Ahad pkl.11.00 truk
itu menurunkan muatan drum
minyak di beberapa toko dekat
pasar. Jika sudah selesai, saya
dan beberapa kawan seusia,
segera meloncat diam-diam.
Bersembunyi di sela-sela
deretan drum. Sopir dan kernek
baru tahu ada “penumpang
gelap” jika sudah sampai ke
Bandung. Atau bahkan mereka
tidak tahu sama sekali. Sebab
begitu truk memperlambat
lajunya dan akan berhenti di
kawasan Cicadas, kami sudah
melenggang di trotoar.
Dari Cicadas, jalan kaki ke lapang Sidolig atau Stadion Siliwangi.
Bubar sore menjelang magrib,
jalan kaki lagi ke Cicadas.
Menuju rumah seorang kerabat.
Ikut nginap di sana. Pulang ke
Limbangan esok hari (Senin
pagi), naik kereta api dari
Kiaracondong. Turun di Cibatu.
Jalan kaki ke Limbangan, atau
(kalau kebetulan ada) ikut truk
pasir hingga Sasakbeusi.
Tentu saja hari itu saya dan
kawan-kawan sesama bobotoh
bolos sekolah. Untung tidak
terlalu sering. Persib main
melawan tim kota lain
(pertandingan persahabatan),
seperti Persebaya (Surabaya),
Persis (Solo) sebulan atau dua
bulan sekali. Pernah pula
melawan tim luar negeri. Kalau
tidak salah dari Cina.
Seingat saya selama lima tahun
menjadi penonton setia Persib,
tak pernah ada keributan gara-
gara ulah bobotoh. Jika Persib
me nang, cukup bersorak-sorai
di dalam stadion. Dilanjutkan
pada waktu pulang oleh
sebagian penonton yang
merasa sugema mendapat
suguhan gol-gol Persib, dengan
cara mengibar-ngibarkan sapu
tangan atau koran kepada
setiap orang yang ditemui di
jalan.
Jika kebetulan Persib kalah,
cukup dengan membungkam.
Stadion sepi bagai gaang
katincak. Kibaran-kibaran
saputangan dan koran tidak
terlihat di perjalanan pulang.
Semua rata-rata menunduk lesu sebagai tanda kecewa berat.
Mungkin karena para penonton
yang notabene bobotoh setia
Persib di masa itu, benar-benar
merasa memiliki dan
menghargai Persib lahir batin.
Mereka datang dari berbagai
tempat ti nanggerang lila caang
ti nanggorek lila poek semata-
mata karena rasa cinta dan
sayang kepada Persib. Mereka
ikut menjaga prestise dan
prestasi Persib sebagai
kesebelasan yang ditakuti
lawan, dengan menjunjung
tinggi keamanan dan ketertiban di dalam dan di luar arena pertandingan.
Sedikit saja bobotoh berlaku codeka, Persib ikut ternoda. Semisal melempar benda-benda kepada pemain lawan, atau menyoraki secara
keterlaluan. Jika ada bobotoh
yang berbuat begitu, pasti
rekan-rekan di dekatnya segera memperingatkan.
Para bobotoh era 1950-an dan
1960-an, tahu sekali, jika
mereka berbuat neko-neko,
justru akan membebani mental
pemain. Akan mengganggu
konsentrasi dan mutu
permainan para kampiun bola
Persib yang terkenal tenang,
matang dan lincah.
Nama-nama Witarsa, Rukma,
Wowo, Omo, Henky Timisela,
Pietje Timisela, Ade Dana,
Parhim, Rukman, Emen, Fatah
Hidayat, Komar, Yus Etek, Max
Timisela, disusul Aen Karnaen,
Obon, hingga Nandar, Encas
Tonif, sudah menyatu dengan
pikiran dan perasaan para
bobotoh. Sebagaimana Ajat
Sudrajat, Adeng Hudaya, Wawan Karnawan, Robby Darwis, bagi generasi bobotoh tahun 1980- an.
Mereka dibiarkan tenang
bermain di lapangan hijau tanpa gangguan dan tuntutan
bobotoh yang berlebihan.
Suguhan permainan mereka
yang cantik dan menarik, tetap menjadi tujuan utama. Bukan urusan kalah atau menang.
Apalagi sampai merusak dan
mengganggu ketertiban umum,
mengundang kebencian dan
permusuhan seperti sering
terjadi akhir-akhir ini.
Apakah sikap bobotoh itu
terlahir dari suatu kondisi
bahwa Persib adalah Persib ?
Dalam arti merupakan kumpulan para pemain sepakbola dari berbagai daerah — seluruh Indonesia — yang bermain di Bandung dan mengibarkan bendera klub Bandung ? Para pemain yang namanya disebut di atas tadi, banyak yang bukan orang Bandung asli. Ada yang
dari Garut, Ciamis, bahkan
Ambon. Tanpa menonjolkan
corak fanatisme kedaerahan –
bahkan lebih cenderung
menunjukkan nasionalisme
NKRI — Persib telah
menorehkan tinta emas dalam
sejarah persepakbolaan
Indonesia. Ketika para pemain
Persib menjadi tulang
punggung tim nasional
Indonesia, pada waktu itulah
PSII menapaki puncak-puncak
kejayaannya. Kalau tak salah,
pernah tujuh atau delapan
pemain Persib berstatus pemain nasional, dan sering
melanglangbuana bertanding ke luar negeri. Antara lain ke Eropa Timur. Untuk tingkat Asia, PSII sudah tak punya lawan sebanding lagi.
Bobotoh Persib sekarang dicap
cenderung barbar. Holigan.
Eleh meunang sarua bae amuk-
amukan. Apakah hal ini timbul
dari ketidakpuasan karena
Persib seolah-olah tidak lagi
menghargai bibit-bibit pemain
lokal (daerah) dan lebih
memanjakan pemain asing ?
Pada bawah sadar para
bobotoh menumpuk gumpalan
kekesalan dan kepenasaranan
yang sulit terucapkan, kecuali
dengan melampiaskannya
dalam bentuk hooliganisme.
Cinta kepada Persib, tapi ada
sesuatu yang membuat cinta itu bercampur “dendam kesumat”.
Ibarat seorang jejaka, cinta
berat kepada seorang gadis,
namun si buah hati “selingkuh”.
Melepaskan tak mau karena
berbagai pertimbangan,
menerima juga rikuh karena
berbagai petimbangan pula.
Akhirnya napsu kapegung.
Saya ikut merasakan pula
“derita hati” para bobotoh yang
diibaratkan bernasib nahas
seperti sang jejaka. Sehingga,
saya terpaksa tak pernah lagi
menyaksikan langsung Persib
bertanding. Padahal sekarang,
untuk beli karcis tak usah
menguras sarang ayam
tetangga. Pergi tak usah naik
trum minyak kelapa. Entahlah
nanti, setelah Persib kembali
“asli”, seperti zaman Witarsa,
Rukma, Wowo, Omo, Adjat,
Adeng, sebagaimana dijanjikan
Ketua Umum Persib baru-baru
ini. Teriring salam buat para
bobotoh Persib generasi
terbaru. Sing sabar jeung
tawekal. Hindari perbuatan
yang dapat menodai citra Persib yang tetap kita cintai walaupun sekarang sedang dirundung “perselingkuhan”.***
H.Usep Romli HM, bobotoh
Persib tahun 1960-an
Sumber: persib.wordpress.com, pikiran rakyat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar